Senin, 09 November 2009

Pemda Harus Perhatikan Pemberian Izin Pasar Modern

Matinya pasar tradisional disiyalir akibat kebijakan pemerintah daerah yang memberikan izin masuknya pasar modern dengan mudah.



Tak dapat dipungkiri, keberadaan peritel modern terus mengancam keberadaan pasar tradisional. Asosiasi Pedagang Pasar Tradisional Seluruh Indonesia (APPSI) mencatat jumlah pedagang pasar tradisional di wilayah Jakarta mengalami penurunan dari 96 ribu pedagang menjadi 76 ribu pedagang. APPSI juga mencatat sekitar 400 toko di pasar tradisional tutup setiap tahunnya. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan. Masih berdasarkan data APPSI, tahun 2006 jumlah pasar modern di Indonesia mencapai 13.650 unit. Sementara 12,6 juta pedagang yang melayani seluruh segmen masyarakat diyakini mengalami penurunan.

Penurunan omzet disertai rendahnya minat konsumen, menjadi penyabab matinya pasar tradisional. Efek pengganda ini tidak hanya dirasa pedagang, tapi juga para distributor dan pemasok produk dagangan lokal. Memang tidak bisa dipungkiri, kondisi pasar tradisional yang tidak nyaman, membuat konsumen enggan datang ke pasar. Ditambah lagi, keberadaan pasar-pasar modern yang berdekatan dengan pasat tradisional itu sendiri.

Survey AC Nielsen tahun 2004 menunjukan meski jumlah pasar tradisional di Indonesia mencapai 1,7 juta unit atau mengambil porsi 73 persen dari keseluruhan pasar yang ada, laju pertumbuhan pasar modern ternyata jauh lebih tinggi. Contohnya pertumbuhan ritel modern di Jakarta sejak 2004, menempati posisi dominan yakni 74,83 persen ketimbang pasar tradisional 25,17 persen.

Pemerintah bukannya tinggal diam terhadap kondisi seperti ini. Salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional Pusat Pembelanjaan dan Toko Modern, dan Peraturan Menteri Perdagangan No. 53/M-DAG/PER/12/2008 tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Perdagangan Tradisional, Pusat Pembelanjaan dan Toko Modern (Permendag No. 53/2008).

Putri K Wardani, Ketua Aliansi Sembilan Organisasi Intra Industri, semangat pembentukan peraturan tersebut adalah untuk mendorong kembali sektor manufaktur barang konsumsi padat karya. Selain itu, mempertahankan keberadaan pasar tradisional. Serta menyeimbangkan kekuatan tawar dari masing-masing pelaku usaha industri manufaktur barang konsumsi pedagang pasar tradisional dan peritel modern.

Menurutnya, Perpres dan Permendag ini sudah mengakomodir perlindungan terhadap pasar tradisional yang ada di Indonesia. Alasannya, kata dia, dalam Permendag No. 53/2008 sebagai petunjuk pelaksana Perpres No. 112/2007, diatur zonasi atau letak dimana pasar modern tersebut dapat dibangun. “Jadi dalam Permendag ini dikenal ada jalan utama, jalan arteri dan jalan antar kota. Di jalan antar kota-lah hypermarket diperkenankan berada,” ujar Putri saat diskusi publik tentang Quo Vadis Pasar Tradisional di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jumat (6/11).

Putri juga mengakui, dalam Permendag tidak ada ketentuan berapa jarak yang diharuskan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Menurutnya, pengaturan mengenai jarak tidak dicantumkan lantaran Depdag melihat setiap wilayah jaraknya bisa terlihat berbeda. “Katakan di DKI Jakarta dengan Solo dan Yogya, kan beda, mungkin 200 meter di Jakarta kelihatan pendek, tapi di daerah lain seperti hampir setengah ke kota lain,” tambahnya.

“Jadi, bukan jarak antara pasar modern dan pasar tradisional yang dipersoalkan, tetapi disebutkan yang namanya pasar modern itu bolehnya hanya di jalan utama antar kota. Di luar negeri juga begitu. Kalau minimarket yang kecil boleh di lingkungan perumahan, tetapi kalau hypermartket harus di jalanan utama menuju jalanan antar kota,” jelas Putri.

Hal senada diungkapkan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Subagyo. Mengenai lokasi pendirian yang diatur dalam Permendag tersebut, pasar tradisional boleh berlokasi pada setiap jaringan jalan. Sedangkan hypermarket dan pusat perbelanjaan, hanya boleh berada pada akses sistem jaringan jalan arteri atau kolektor, tidak boleh berada dalam lingkungan perumahan di dalam kota atau perkotaan. “Pemerintah Daerah (Pemda) lah yang mempunyai kunci penting dalam pemberdayaan pasar tradisional,” kata Subagyo.

Sulit Pinjam di Bank
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Sri Edi Swasono, mengaku prihatin dengan menjamurnya pasar modern saat ini. Ditemui di acara yang sama, Edi menilai pembangunan yang dilakukan saat ini malah menggusur rakyat miskin. “Jangan sampai Pemda itu menggusur orang miskin. Yang harus digusur itu kemiskinan. Jadi Pemda jangan terkagum-kagum dengan segala sesuatu yang baru seperti hypermarket, supermarket,” ketusnya.

Tergerusnya pasar tradisional oleh pasar modern, menurut Edi, menunjukan kalau tindakan pemda kurang pro-rakyat. “Kalau kasih izin supermarket, pasar tradisional juga harus boleh masuk ke dalamnya. Jadi pasar tradisional bisa hidup di dalam supermarket dong. Selain itu jika Alfamart atau Indomaret masuk ke kampung, sahamnya harus bisa dimiliki orang kampung,” tuturnya dengan suara agak meninggi.

Masalah lain yang dihadapi pasar tradisional adalah soal pembiayaan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pasar Seluruh Indonesia (Asparindo) Joko Setiyanto, pedagang pasar tradisional kerap mengalami kesulitan untuk mencari pinjaman dari bank dengan alasan status tanah pasar tradisional tidak bisa dijadikan agunan atau pinjaman. Padahal, menurutnya, dana sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan struktur pasar tradisional. “Kalau pasar mau tumbuh struktur pembiayaannya juga harus ditambah. Struktur pembiayaan harus jelas. Kalau pedagang ingin mengajukan pinjaman, bank menyatakan status tanahnya harus dibenahi agar bisa menjadi agunan, toh tanahnya punya pemerintah dan banknya juga punya pemerintah, mengapa bank takut memberikan pinjaman?” ujarnya.

Hukum Online

Tidak ada komentar: